7 Tradisi Leluhur Pulau Binongko Wakatobi Yang Masih di Lestarikan di Era Modern

Tradisi dan budaya di pulau Binongko wakatobi dikenal sangat kaya, namun banyak yang tak dilestarikan lagi, entah kenapa padahal sebuah tradisi memiliki nilai penting bagi budaya atau tradisi daerah Wakatobi pulau binongko
Gambar hanya sebagai ilustrasi, tidak untuk mendefinisikan arti budaya atau tradisi manapun. Foto by: Sasint


Di era Moderenisasi, sebagian tradisi kuno dari leluhur perlahan mulai usang. Ada banyak faktor kenapa sebuah tradisi atau budaya di suatu daerah tak lagi dilestarikan, seperti pengaruh budaya luar, pemahaman modern yang tidak sepaham dengan pemahaman kuno, hilangnya kesadaran generasi muda untuk melestarikan budaya dan tradisi daerahnya sebagai bentuk kearifan lokal dan masih banyak lagi.


Termasuk di Pulau Binongko, Wakatobi. Ada beberapa tradisi yang sudah ditinggalkan di era modern ini, ada yang hampir lekang oleh waktu dan ada juga yang masih dilestarikan hingga saat ini. Setidaknya, ada 6 tradisi di masyarakat Binongko Wakatobi yang masih ada dan dikenal hingga era modern ini sebagai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Binongko.


Pulau Binongko Wakatobi, penduduk pertama yang menduduki pulau ini adalah ras Melanesia. Akan tetapi saat ini sudah terjadi percampuran banyak suku dan ras di pulau Binongko. Misalnya terjadi karena pernikahan penduduk lokal dengan suku pendatang dan lainnya.


Meski begitu, tidak banyak yang memberi pengaruh besar pada perubahan unsur budaya di masyarakat Binongko. Sebab, hingga saat ini budaya dan tradisi yang berkembang di tanah Binongko adalah tetap pada budaya leluhur mereka meski beberapa diantaranya budaya dan tradisi di Pulau Binongko ada yang sudah hilang karena tak dilestarikan lagi.


Pada dasarnya tradisi dan budaya di pulau Binongko adalah dibawah pengaruh dua suku dari masyarakat Binongko yang telah lama dan turun temurun mendiami pulau Binongko ini yakni suku Mbeda-Mbeda dan suku Cia-Cia.


Suku Mbeda-Mbeda adalah suku asli penduduk pulau Binongko sedangkan suku Cia-Cia adalah penduduk asli dari Buton. Akan tetapi, dari puluhan generasi mereka telah mendiami pulau ini hidup rukun bersama masyarakat suku Mbeda-Mbeda di Pulau Binongko, Wakatobi.


Akhirnya dua suku ini juga memberi pengaruh pada perkembangan tradisi dan budaya di pulau Binongko. Salah satunya, di pulau Binongko dikenal tradisi Karia'a. Yang sebenarnya tradisi ini khusus untuk masyarakat Cia-Cia di Pulau Binongko, perbedaan dari prosesi pernikahan adat antara suku Cia-Cia dan Mbeda-Mbeda, DNA lainnya. Namun ada pula tradisi yang baik suku Cia-Cia dan Mbeda-Mbeda sama-sama menerapkannya.


Lalu, bagaimana dengan tradisi leluhur masyarakat Binongko yang masih dilestarikan hingga saat ini di era modern? Apakah cukup tinggal nama dan cerita atau tetap dilestarikan hingga saat ini?


Pengertian Tradisi

Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang sudah turun temurun, diyakini dan diakui oleh masyarakat tersebut serta memiliki nilai historis tersendiri. Yang termasuk bagian dari tradisi seperti budaya, kebiasaan, adat atau kepercayaan tertentu.

Menurut etimologi, tradisi adalah sesuatu yang dapat merujuk pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankan oleh masyarakat itu. Begitupun tradisi di masyarakat pulau Binongko yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang mereka secara turun-temurun hingga saat ini.


Tujuan Tradisi

Kenapa perlu adanya tradisi. Apa tujuan untuk mewariskan tradisi secara turun-temurun kepada generasi mereka hingga juga generasi kita saat ini?

Yakni ada beragam tujuan sebuah tradisi, ada pula tradisi yang memiliki tujuan tersendiri bagi masyarakatnya sendiri. Selain itu, secara umum tradisi memiliki tujuan untuk mengikat dan mempererat hubungan sosial dimasyarakat, mewujudkan kesatuan dalam sosial budaya, simbol identitas, dan masih banyak lagi. 

Lalu, bagaimana dengan 7 tradisi di pulau Binongko yang masih dilestarikan hingga saat ini di era modern? Apa fungsi dan tujuan dari tradisi tersebut tetap dilestarikan? 


7 Tradisi di Masyarakat Pulau Binongko yang Masih Dilestarikan di Era Modern saat ini


Pengaruh budaya luar dan perkembangan pola pikir masyarakat di era modern ini menjadi salah satu faktor beberapa tradisi tidak lagi dilestarikan oleh masyarakat. Misalnya pengaruh budaya luar yang bersifat kebarat-baratan dan meninggalkan budaya kita sebagai orang timur. Tetapi ada juga alasan lain seperti sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat yang diwariskan oleh leluhur atau nenek moyang kita yang pada akhirnya tidak dilestarikan lagi sebab ternyata bertentang dengan nilai moral dan norma dimasyarakat.

Sehingga menyikapi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang juga perlu dengan pola pikir yang sehat, apakah layak untuk dilestarikan atau tidaknya. Jika mengandung nilai positif maka patut tetap diwariskan dan dilestarikan ke generasi muda hingga anak cucu kita.

Sedangkan di pulau Binongko Wakatobi ada juga beberapa tradisi dan budaya yang akhirnya hampir tenggelam di masyarakat karena faktor budaya luar seperti budaya Samaa, dan lainnya.

Akan tetapi ada juga budaya atau tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini di era modern sebab karena tujuannya yang positif serta memiliki nilai dan makna yang penting bagi masyarakat pulau Binongko.


Ada 7 tradisi di pulau Binongko yang masih dilestarikan  yakni sebagai berikut:


1. Tradisi Polelei

Tradisi Polelei di masyarakat Binongko ini hanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri dan idul Adha. Artinya tradisi Polelei di Pulau Binongko hanya dilakukan 2x dalam setahun.

Tradisi Polelei di masyarakat Binongko ini bertujuan untuk mempererat hubungan silaturahmi dan menjaga kerukunan masyarakat pulau Binongko, Wakatobi. 

Tradisi Polelei juga memberikan arti kesetaraan, semua masyarakat memiliki kedudukan yang sama sebagai warga masyarakat pulau Binongko, berjalan bersama-sama, tanpa memandang tingkat derajat dan jabatan setiap orang.

Dengan memahami tujuan dan makna Polelei sebagai salah satu tradisi khas pulau Binongko yang masih dilestarikan hingga saat ini diera modern di Pulau Binongko, semoga tradisi Polelei tetap lestari menjadi warisan turun-temurun sebagai nilai kearifan lokal dan budaya dari masyarakat pulau Binongko hingga ke generasi-generasi berikutnya.




2. Tradisi Saufara Masyarakat Pulau Binongko 

Tradisi Saufara di pulau Binongko Wakatobi ini hanya dilakukan satu kali dalam setahun yakni pada bulan Safar. Sebab, tradisi Saufara ini adalah untuk memperingati jatuhnya bulan Safar bagi masyarakat Binongko.

Dalam kata lain, tradisi Saufara bagi masyarakat pulau Binongko lebih dikenal dengan istilah sebagai Hebatua atau Saufara'a. Disebut Hebatua karena proses pematangan makanan dalam tradisi Saufara ini adalah dengan cara 'bakar batu'. 

Yakni kata Hebatua merupakan kata dalam bahasa daerah Binongko, terdiri dari suku kata: He-Batu-a. (He) untuk menunjukkan kata kerja atau sesuatu yang akan dilakukan, (Batu) artinya Batu, dan (a) adalah kata pelengkap yang berarti menunjukkan suatu kegiatan atau proses.

Jadi, kata Hebatua dalam bahasa daerah Binongko secara umum artinya Kegiatan Bakar Batu. Sedangkan Saufara'a artinya kegiatan memperingati bulan Safar.

Dalam kegiatan Tradisi Saufara bagi masyarakat pulau Binongko ini selalu identik dengan Tombole sebagai makanan khas tradisional Pulau Binongko. Tombole adalah menu makanan utama yang dimasak pada tradisi Saufara atau Hebatua.

Tombole adalah salah satu makanan khas tradisional Pulau Binongko yang berbahan dasar singkong atau ubi kayu, dimasak atau dimatangkan dengan cara dibakar diatas batu lalu ditimbun tanah. Proses inilah yang disebut Hebatua. Sedangkan istilah untuk nama kegiatan ini adalah tradisi Saufara.

Bagi masyarakat pulau Binongko, tradisi Saufara merupakan salah satu tradisi khas pulau Binongko yang masih dilestarikan dan perlu untuk tetap dilestarikan hingga anak cucu. Tradisi memperingati bulan Safar yang disebut Tradisi Saufara ini memiliki nilai positif seperti memperat hubungan keluarga, silaturahmi, kebersamaan dan rasa saling berbagi.



3. Tradisi Hemerara

Di era Modern saat ini termasuk dengan hadirnya berbagai macam teknologi terutama di dunia kesehatan tidak menyurutkan masyarakat di pulau Binongko untuk meninggalkan tradisi Hemerara. Artinya, tradisi Hemerara masih tetap di lestarikan di era modern saat ini.

Tradisi Hemerara merupakan proses khusus bagi seorang ibu yang usai melahirkan. Hemerara merupakan metode untuk membersihkan darah kotor bagi seorang ibu yang usia mengandung, yang di wariskan turun-temurun dari leluhur mereka hingga saat ini.

Meskipun, diera modern ini masalah peralatan dan tenaga medis dirasa sudah mumpuni untuk penanganan seorang ibu yang usai mengandung termasuk membersihkan darah kotor dan kebutuhan lainnya tetapi Hemerara bagi sebagian besar masyarakat pulau Binongko masih dipraktekkan hingga saat ini.

Tradisi Hemerara ini dilakukan selama 40 hari bagi seorang ibu baru yang usai mengandung dan melahirkan. Proses ini juga dibantu oleh 'dukun beranak' tetapi juga bisa untuk dilakukan sendiri di rumah.


Tradisi hemerara pulau Binongko Wakatobi untuk ibu yang usai melahirkan
Ilustrasi tentang seorang ibu yang usai melahirkan seorang anak. Foto by: Jakobking85


Hemerara yakni istilah dalam bahasa Binongko yang terdiri dari dua suku kata He dan Merara. He sebagai kata kerja yang menunjukkan kegiatan. Merara artinya Panas (istilah untuk pantulan dan hawa panas api yang menimbulkan panas di tubuh).

Jadi, pada saat melakukan Hemerara, seorang ibu akan membuat tungku pengapian terlebih dahulu, kemudian ia akan duduk disekitarnya dan membelakangi bara api untuk mendapatkan hawa panas tersebut mengenai area pinggang. Tujuannya untuk mengencerkan darah kotor agar mudah keluar dan bersih secara  total.


4. Tradisi Karia

Tradisi Karia'a atau Karia adalah salah satu tradisi di Pulau Binongko yang di khususkan bagi suku Cia-Cia di pulau Binongko. Tradisi Karia'a merupakan salah satu warisan budaya bagi seluruh suku Cia-Cia Buton yang juga menjadi tradisi suku Cia-Cia di pulau Binongko.

Meski di era modern saat ini, Tradisi Karia'a atau Karia tetap dilestarikan hingga saat ini  sebagai warisan budaya yang memiliki nilai identitas, dan kearifan lokal suku Cia-Cia di pulau Binongko. Di pulau Binongko, tradisi Karia'a atau Karia akan dilaksanakan 7 tahun sekali.

Tradisi Karia ini diperuntukan bagi anak gadis yang belum menikah, baik anak-anak maupun remaja dan dilakukan hanya satu kali bagi tiap orang. Mereka akan dipingit dalam kurun waktu tertentu dalam melakukan prosesi adat khusus serta menjalankan aturan-aturan khusus lainnya selama proses pingitan.

Setelah prosesnya selesai akan diakhiri dengan upacara khusus yang akan di hadiri para tamu, hingga tokoh adat dari Buton. Prosesi adat tradisi Karia ini sebagai lambang penyucian diri dan simbolis perlindungan diri bagi para gadis suku Cia-Cia di Pulau Binongko.


5. Tradisi Pakande'a

Tradisi Pakande'a juga merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan di pulau Binongko di era modern saat ini. 

Tradisi Pakande'a pada zaman dahulu di pulau Binongko memiliki tujuan sebagai persembahan kepada alam, bahkan untuk roh leluhur yang dianggap telah memberi berkat kepada mereka. Sedangkan tradisi Pakande'a diera modern ini di pulau Binongko ini dimaknai sebagai ungkapan syukur, simbol untuk mewakili keberkahan dan anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Tradisi Pakande'a biasa kita jumpai di masyarakat Binongko, contohnya syukuran pembuatan kapal laut. Setalah kapal akan pertama kali dioperasikan di laut, sebelumnya akan dibuat Pakande'a terlebih dahulu sebagai bentuk simbolis pendekatan hubungan dengan alam seperti laut, sekaligus ungkapan rasa syukur dan memohon izin kepada Yang Maha Kuasa agar Kapal yang akan digunakan untuk mengarungi lautan ini diberi keberkahan dan perlindungan.

Pakande'a juga bisa kita jumpai dalam proses pernikahan adat Pulau Binongko. Biasanya ada yang dipersiapkan khusus untuk memenuhi syarat adat yang disebut Kande'a atau Kande'anga. Atau bisa juga dalam beberapa bentuk kegiatan adat lainnya.

Kande'a ini berisi sesajian makanan tradisional ,memiliki jumlah dan jenis sesuai dengan aturan adat, disimpan dalam wadah tradisional dan ditutup juga dengan tutup saja adat, dan masih banyak lagi. Proses membuat Kande'a inilah yang disebut Pakande'a.



6. Tradisi Hopo Ello

Tradisi Hopo Ello di masyarakat pulau Binongko Wakatobi juga masih melestarikan budaya ini hingga era modern saat ini.

Hopo Ello atau kata lainnya disebut dengan undangan lisan. Undangan ini berkaitan juga dengan undangan adat, misalnya undanhan untuk acara pernikahan, syukuran dan lainnya.

Misalnya dalam contoh pernikahan adat Binongko. Pernikahan tersebut digelar dengan resepsi serta adanya penyebaran undangan cetak karena mengikuti perkembangan zaman di era modern ini. Tetapi, tradisi Hopo Ello juga tetap berlaku.

Para ibu-ibu yang diutus oleh pemilik hajatan acara pernikahan akan tetap melaksanakan Hopo Ello atau undangan lisan ini sebagai undangan secara adat kepada seluruh masyarakat Binongko setempat meskipun undangan cetak pun akan tetap disebarkan.

Hal ini berkaitan dengan rasa hormat, serta tradisi turun-temurun dengan menyampaikan undangan lisan ini diakui lebih sopan serta sebagai simbol warisan budaya yang perlu dilestarikan.


7. Tradisi Joget Maju Mundur

Tradisi Joget Maju mundur ini juga masih dilestarikan di pulau Binongko Wakatobi diera modern saat ini. Sebab, tradisi ini merupakan tradisi atau budaya joget yang sangat sopan.

Acara joget sudah menjadi andalah di pulau Binongko jika dalam melakukan perayaan kebahagiaan atau wujud kegembiraan. Tetapi, di pulau Binongko Wakatobi masih menerapkan joget maju mundur ini sebagian warisan dari leluhur atau nenek moyang mereka yang dianggap memiliki nilai positif.

Yakni, dalam joget maju mundur kelompok pria akan berada dalam satu garis lurus berhadapan dengan kelompok wanita yang juga dalam satu garis lurus. Pria dan wanita memang berpasangan joget bersama namun ada aturan atau kaidah dalam joget maju mundur ini.

Kelompok Pria dan kelompok wanita akan saling berhadapan di dalam barisan masing-masing. Lalu joget bersama mengikuti irama dengan pola maju dan mundur secara bersamaan, pada saat kelompok wanita berjoget bersama maju kedepan maka kelompok laki-laki akan bertolak mundur, begitupun sebaliknya.

Sehingga, dalam tradisi maju mundur ini lebih meminimalisir kontak fisik antara pria dan perempuan, serta kehormatan perempuan lebih terjaga dan acara joget akan tetap berlangsung aman hingga selesai.




Kenapa Tradisi Kita Perlu Lestarikan meski di era Modern?


Tradisi pulau Binongko yang wajib dilestarikan di era modern ini
Foto by Sdg_ray


Sebuah tradisi merupakan simbol, identitas, serta bagian dari kekayaan dan kearifan lokal suatu daerah yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Sehingga penting untuk kita lestarikan bilamana tradisi-tradisi tersebut mengandung nilai-nilai dan norma dan tujuan yang baik.

Untuk para generasi muda pelu melestarikan budaya dan tradisi lokal kita sebab sebagai warisan budaya turun-temurun, aset penting sebagai identitas daerah kita sendiri. 

Terutama untuk di masyarakat pulau Binongko, dimana pengaruh budaya luar sepertinya sangat rentan memberi efek atas hilangnya nilai-nilai budaya lokal dan tradisi di pulau Binongko, terutama pada anak generasi muda saat ini.

Namun tetap perlu di garis bawahi bahwa, melestarikan tradisi juga harus diperhatikan bahwa tradisi tersebut memiliki nilai positif, tujuan yang baik, tidak melanggar norma dan lain sebagainya.

Nah, untuk tradisi di pulau Binongko yang wajib dan benar-benar perlu dilestarikan di era modern adalah sebagai berikut:

  • budaya atau tradisi Polelei. Tradisi polelei adalah tradisi sebagai momentum menyambut dan merayakan suka cita pada hari besar agama Islam yakni hari raya Idul Adha dan idul Fitri, saling bermaafan, silaturahmi, dan nilai kebersamaan.
  • Tradisi joget maju mundur. di era modern ini, kegiatan atau cara joget sudah menjadi hal yang biasa. Nah ada baiknya kita menerapkan juga tradisi baik seperti tradisi joget maju mundur. Artinya, meski kita mengikuti perkembangan diera modern tetapi kita tetap menjaga nilai dan budaya dari daerah kita sendiri.
  • Tradisi Saufara, juga merupakan tradisi yang perlu untuk tetap dilestarikan diera modern ini sebab akan menjadi nilai budaya penting bagi masyarakat pulau Binongko.

Posting Komentar

0 Komentar